'Lewat Lagu Kami Bercerita' Jawara Denpasar Documentary Film Festival 2019

Asosiasi Dokumenteris Nusantara
0

Film "Lewat Lagu Kami Bercerita" karya Dony Putro Herwanto, Bogor, terpilih sebagai film terbaik Denpasar Documentary Film Festival (Dedoff) 2019. Film ini berkisah tentang aktivitas ibu-ibu korban gejolak politik di masa lalu yang bahu membahu menyembuhkan luka batin mereka dengan membuat kelompok menyanyi.

Sementara film "As Long As" karya Lutfiyyah Sesarini, Tangerang, firekomendasikan oleh juri untuk mendapat penghargaan khusus karena keberanian dan kemampuannya menampilkan tema yang selama ini jarang dilirik orang.  Juga karena kemampuan teknis dalam mengemas tema tersebut.

Dua film tersebut menyisihkan tiga film unggulan lainnya yakni Ibu untuk Bumi (Diyah Verikandhi, Yogyakarta), Linggih Aksara (Ni Luh Putu Indra Dewi Anjani), dan Padi Gaga (Gede Seen, Buleleng).

Untuk Kategori Pelajar tampil sebagai juara 1 adalah film Pasur karya Sarah Salsabila Syafiyah  (SMA Kadhijah Surabaya). Juara 2 adalah Orang-orang Tionghoa karya Icha Feby Nur Futhika (SMK Negeri 1 Purbalingga), dan TPA Lontar karyaI Nengah Arta Dana (SMK PGRI Amlapura) sebagai Juara 3.

Dua unggulan lain dalam kategori ini adalah filmTukad Pakerisan (Anak Agung Ngurah Nata Prabhawangsa, SMA Negeri 1 Gianyar) dan Tirto Sari (Yunika Eka Putri, SMA Negeri Dlanggu).

Para juri untuk kategori umum terdiri dari Rio Helmi (Fatografer Senior, Bali), Putu Fajar Arcana (Redaktur Kompas, Jakarta), dan Agung Sentausa (Badan Perfilman Indonesia, Jakarta).  Sedangkan untuk kategori pelajar juri terdiri dari Warih Wsatasana (Budayawan, Denpasar), Ayu Diah Cempaka (Pegiat Kajian Cinema, Denpasar), dan Puja Astawa (Vlogger, Jimbaran).

Tentang Dedoff 2019
Sebelumnya festival ini dikenal dengan nama Denpasar Film Festival (DFF). Pada tahun ini Dedoff telah menginjak tahun ke-10. Momentum ini digunakan untuk mengatur ulang formulasi festival. Bukan sekedar perubahan nama dari DFF menjadi Dedoff karena pilihan genre dokumenternya, namun juga dari cara pandang atas film dokumenter, baik di Indonesia maupun dunia.

Hari ini semua orang berkesempatan merekam dan menceritakan ulang berbagai macam fenomena di keseharian kita. Dari urusan politik hingga galaksi; dari persoalan kemanusiaan hingga perkara unboxing handphone terbaru. Hari ini bahkan seorang anak muda sopir truk bisa sangat terkenal dan dielu-elukan karena vlognya yang digemari dan viral.

“Jadi festival di tahun ke-10 ini kami jadikan anak tangga baru untuk memulai langkah baru. Kami kini mulai merintis pasar film dokumenter di Indonesia; dari produk fim hingga sumber daya manusianya,” ujar Maria Ekaristi, Direktur Dedoff, dalam laporannya pada acara pembukaan festival tersebut  di Rumah Sanur Creative hub, Jumat (27/9/2019).

Tahun ini Dedoff mengawali langkahnya dengan membuat acara “road to” berupa kemah pelatihan film documenter dan pemutaran regular film documenter di Tukad Badung yang mereka namai Bioskop Tukad.

Program itu kemudian disusul dengan kompetisi film dokumenter yang melibatkan pegiat dokumenter di seluruh Indonesia. Kompetis dibagi menjadi dua kategori yakni Umum dan Pelajar. Ada 59 film dokumenter yang turut serta dalam kompetisi ini.  Jumlah tersebut kurang setengah kurang dari peserta yang mendaftarkan diri akan mengikuti kompetisi.

“Sebelumnya ada  189 pendaftar yang mengisi formulir kesertaan, namun hingga batas akhir pengumpulan karya hanya 59 peserta yang mengirimkan karyanya,” papar Ekaristi.

Seperti sebelumnya, film-film tersebut berasal dari berbagai provinsi di Indonesia seperti Aceh, Riau, Sumatera Utara, Jawa Barat, DKI Jakarta, DIY, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Maluku, NTT, dan tentu saja dari Bali sendiri.

Dari karya-karya tersebut Kurator memilih masing-masing lima karya unggulan di kedua kategori untuk dinilai oleh Dewan Juri. Lima karya unggulan pada Kategori Umum adalah As Long As (Lutfiyyah Sesarini, Tangerang), Ibu untuk Bumi (Diyah Verikandhi, Yogyakarta), Lewat Lagu Kami Bercerita (Dony Putro Herwanto, Bogor), Linggih Aksara (Ni Luh Putu Indra Dewi Anjani), Padi Gaga (Gede Seen, Buleleng). Sedangkan untuk Kategori Pelajar adalah Orang-orang Tionghoa (Icha Feby Nur Futhika, SMK Negeri 1 Purbalingga), Tukad Pakerisan (Anak Agung Ngurah Nata Prabhawangsa, SMA Negeri 1 Gianyar),  Pasur (Sarah Salsabila Syafiyah, SMA Kadhijah Surabaya), Tirto Sari (Yunika Eka Putri, SMA Negeri Dlanggu), dan TPA Lontar ( I Nengah Arta Dana, SMK PGRI Amlapura).

Karya-karya tersebut diputar bersama film-film tamu selama dua hari berturut-turut. 27 dan 28 September. Pemutaran dilakukan di dua venue yakni Rumah Sanur Creative Hub dan Taman Kumbasari Tukad Badung.

Pelatihan
Program lainnya adalah Pelatihan Skoring Musik untuk Film Dokumenter dengan instruktur Robi Navicula (Ubud) dan Sosialisasi Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) dengan pemateri Gunawan Paggaru dari Badan Perfilman Indonesia (Jakarta).

“Khusus untuk Sosialisasi SKKNI, kami sengaja gelar mengingat banyak pekerja film kita khususnya yang bergiat di bidang dokumenter belum memiliki sertifikat profesi. Padahal dalam persaingan global ke depan hal itu sangat diperlukan,” terang Ekaristi.

Adapun acara penutupan di Taman Kumbasari Tukad Badung yang ditsndai penyerahan hadiah bagi para juara. Untuk memeriahkan, acara ini menghadirkan Jun Bintang, Jasmine Okubo, Keroncong Jancuk, Komunitas Mahima, dan Suarshima.*

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)