Oleh Tonny Trimarsanto
PRAKTIK produksi film dokumenter, seperti halnya sebuah proses pertumbuhan seorang anak. Fitrah seorang anak sejak lahir adalah, merekam apa saja yang dilihatnya secara visual dan mencoba mengidentifikasi secara auditif apa yang ia dengar. Ragam peristiwa tersebut pada akhirnya disimpan, menjadi sebuah pengetahuan. Pengetahuan yang tersimpan sebagai sebuah informasi tentang bagaimana ia bisa mendefinisikan bentuk, rasa, makna, informasi, yang pada akhirnya menjadi sebuah bekal untuk mempunyai daya hidup. Dari merekam, menyimpannya menjadi sebuah pengetahuan tentang ragam hal ini, maka daya tahan akan muncul, maka sebuah kebudayaan akan terbentuk.
Dalam praktik kerja dokumenter, tak akan lepas dari proses merekam, menyimpannya menjadi sebuah pengetahuan tentang apa yang ada seluruh wilayah tanah air. Jaringan pekerja pembuat dokumenter yang tersebar di seluruh Indonesia (tercatat lebih dari 600 pekerja professional, menurut data Asosiasi Dokumenteris Nusantara,ADN), menjadi sebuah sumberdaya yang cukup strategis dan efektif dalam pola pola kerja perekaman dan penyimpan ragam peristiwa kebudayaan, yang termasuk dalam 10 OPK (Obyek Pemajuan Kebudayaan). Namun apakah posisi trategis efektif yang dipunyai pekerja dokumenter di seluruh wilayah tanah air, telah berjalan secara efektif?
Melihat fakta yang ada hingga saat ini nampaknya belum sepenuhnya terwujud. Kenapa? Lantaran, pekerja pembuat film dokumenter di wilayah yang tersebar tersebut masih belum dimaksimalkan potensinya. Kondisi ini muncul karena pertama, ketidaktahuan soal akses koneksitas. Tentang ragam bentuk bentuk prioritas dari OPK mana saja yang bisa didokumentasikan menjadi sebuah output produk audiovisual yang mempunyai kandungan informasi penting. Kedua, tak ada sinergitas para pengambil kebijakan di setiap wilayah yang secara bersama sama (bisa) melakukan kolaborasi kerja dengan pembuat dokumenter yang ada di setiap wilayah. Ketiga, pembuat film dokumenter di daerah tidak cukup punya tempat untuk bisa mempresentasikan apa yang mereka kerjakan. Keempat, daya tahan produktif pembuat dokumneter tidak semuanya bisa berjalan dalam jangka panjang kontinuitasnya masih tanda tanya.
Ketika ada Program Rekam Pandemi dari Kemendikbud di era Pandemi Covid 2020, nampaknya menjadi sebuah fase baru bagi pembuat film dokumenter tanah air. Sebagai sebuah stimulan, ternyata, program ini sangat efektif bagi pembuat film dokumenter untuk menemukan cara baru dan laboratorium praktek praktek kerja yang lebih efektif. Apa argumennya? Rekam Pandemi menjadi sebuah laboratorium baru bagi para pembuat dokumenter daerah untuk bisa melakukan kerja kreatif dengan formula: dekat, terakses, fokus. Sebagai sebuah formula baru, maka pembuat filem dokumenter mulai menemukan cara cara kerja baru bagaimana membuat film yang dekat dengan ruang gerak yang terbatasi. Tentu ini menjadi sebuah praktek baik, yang tak bisa dilupakan.
Dengan melibatkan lebih kurang anggota ADN yang kala itu masih berjumlah 300 orang, tersebar dari Papua hingga Aceh, praktik baik ini telah menghasilkan lebih dari 7200 jam material visual tentang cara cara bertahan dengan pandemi covid dengan menggunakan praktek kerja yang sangat lokal, dan mungkin sebagai sebuah pengetahuan akan dilupakan. Namun adanya Pandemi, teman teman anggota ADN telah mampu mendokumentasikan peristiwa sekaligus menjadi bagian dari upaya penemuan kembali re-discovered tentang pengetahuan tradisional, ritual, dan cara cara bertahan di era krisis tersebut.
Praktik baik yang bisa dipejari adalah, program Rekam Pandemi juga membuka ruang baru dalam pemetaan dan kerja kerja yang mengandalkan jejaring. Maksudnya,cara kerja berjejaring dengan bantuan teknologi IT hari ini memungkin kerja kerja kolektif baru yang dapat terukur capaian teknis kreatifnya. Sehingga, sekalipun program tersebut telah selesai ternyata, masih berlanjut tentang cara cara kerja berjejaring pekerja dokumenter yang tersebar, dengan sebuah aspek konstruktifitnya adalah : kerja lebih efisien, efektif dan terpangkasnya anggaran produksi, lantaran menggunakan tenaga kerja yang telah tersatandarkan kualitas capaian kerjanya.
Dengan kata lain, praktik baik dari program Rekam Pandemi, lalu munculnya danahibah melalui Dana Indonesiana, kompetisi produksi dokumenter yang dilakukan lewat Indonesiana TV, ataupun dana stimulan yang masuk ke banyak komunitas untuk produksi film dokumenter, menjadi sebuah era baru bagaimana ekosistem film dokumenter itu bisa dikelola dengan cara cara yang efektif dan merata.
Ketika kita membicarakan bagaimana ekosistem film dokumenter itu tumbuh bekerja berjalan secara konstruktif, maka beberapa elemen mendasar memang patut untuk dikelola secara berkesinambungan tak bisa parsial dan sporadis. Yakni focus pada Sumber Daya Manusia yang terdidik, baik itu melalui pelatihan, lembaga pendidikan formal ataupun program program yang difasilitasi oleh pemerintah. Lalu, tak lepas dari produktivitas film dokumenter yang men-supply kebutuhan “pasar” (dan ini harus diciptakan dan difasilitasi). Juga akan fokus pada kerja kerja publik yang cukup punya daya apresiasi dan pengarsipan lewat festival film ataupun ruang putar regular yang tersebar (ini harus menjadi fokus yang berlanjut)
Ketika SDM film dokumenter sudah tersebar, maka eksosistem harus dikelola dengan cara cara yang bijak jangka panjang dan berkesinambungan. Karena, praktek baik yang selama ini telah berjalan (dan harapannya akan terus berlanjut), telah membuka jalan munculnya pembuat film dokumenter daerah yang mempunyai kewirasusahaan, pembelajaran soal manajemen produktif –kreatif, yang professional inovatif untuk menuju pada parktek kerja professional jangka panjang.
Masa depan pembuat film dokumenter dalam ekosistem tersebut nampaknya penting untuk dijaga dan terus menerus untuk ditumbuhkan. Bukan sekadar menjadi tanggung jawab pembuat film dokumenter di daerah tentunya. Karenafitrah lahir : merekam menyimpan telah menjadi daya daya untuk membangun pengetahuan dan daya hidup kebudayaan yang tersebar dan heterogen tersebut. ***
- Tulisan ini pertama kali dimuat di Koran Tempo, Minggu 16 Juni 2024.
- Penulis adalah produser, sutradara dokumenter, ketua Asosiasi Dokumenteris Nusantara (ADN)