Tonny Trimarsanto Berdialog lewat Film

Asosiasi Dokumenteris Nusantara
0



Tonny Trimarsanto (53) merasa paling bahagia saat mengerjakan film dokumenter. Ia percaya film dapat membuka ruang dialog, bahkan untuk isu paling sensitif sekalipun.


”TERSESAT” di ilmu sosial dan politik saat kuliah pada akhirnya mengantar Tonny Trimarsanto (53) ke jalan yang tepat; film dokumenter. Ia bahagia berkarya di bidang ini. Menurut dia, film bisa membuka ruang dialog, bahkan untuk isu tersulit sekalipun.


Penonton terkaget-kaget saat tahu MD Raya punya 12 istri dan 52 anak. Cucunya pun paling sedikit 200 orang. Mereka tinggal bersama di rumah panggung di sebuah desa di Sumba, Nusa Tenggara Timur. Kisahnya diceritakan dalam film One Big Sumba Family, Senin (4/12/2023), di Festival Film Dokumenter (FFD), Yogyakarta. Tonny menyutradarai film ini.


Saat ditanya kenapa berpoligami, MD Raya menjawab bahwa poligami itu hanya beristri dua, sedangkan istrinya ada 12 orang. Artinya, dia sudah melampaui poligami. Penonton menepuk jidat, tetapi tertawa juga. Mereka tertawa lagi, kali ini sambil gemas, saat jumlah istri lelaki paruh baya itu diibaratkan seperti jumlah murid Yesus.


MD Raya sebetulnya seorang Nasrani. Tapi, dalam ajaran Kristen ataupun Katolik tak ada yang namanya poligami sehingga kisah MD Raya menjadi anomali.


Walau demikian, MD Raya tetap orang berpengaruh di kampung. Ia kepala desa selama sekitar tujuh periode. Sembari mengurus desa, ia tinggal di rumah bersama 12 istrinya yang rukun satu sama lain. Para perempuan saban hari bekerja mengolah kebun dan mengurus pekerjaan rumah tangga.


Kisah itu menggelitik puluhan penonton yang hadir. Diskusi pun digelar seusai penayangan film. Berbagai pertanyaan dilontarkan, termasuk kenapa Tonny membuat film ini.


Sebenarnya ada isu sensitif yang bisa kita diskusikan, lalu jadi ruang percakapan yang enggak (akan) selesai, terutama menyangkut perempuan. Perempuan sebagai apa? Perempuan perannya di mana?


”Saya tidak mau menghakimi bapak itu sama sekali. Film ini lahir dari kacamata mereka,” ucap Tonny. 


”Sebenarnya ada isu sensitif yang bisa kita diskusikan, lalu jadi ruang percakapan yang enggak (akan) selesai, terutama menyangkut perempuan. Perempuan sebagai apa? Perempuan perannya di mana?”

 

Tonny—yang diangkat sebagai anak ke-53 MD Raya—juga menyisipkan detail-detail keseharian masyarakat di sana yang sederhana. Di sana juga susah air. Untuk keramas, salah satu istri menggunakan air yang jumlahnya tak sampai setengah ember.


Perkelahian pun kerap terjadi di sekitar desa. Entah penyebabnya apa, tapi ada yang bertengkar karena mabuk miras. Tonny, yang tinggal di rumah MD Raya selama pembuatan film, sampai terbiasa. Ia tak kaget lagi saat diminta pindah lokasi malam-malam karena ada yang berkelahi di dekat rumah.


“Saya tidak ingin melihat Sumba dalam kacamata yang turistik. Kalau Anda bicara Sumba, pasti ada sabana, kuda, indah. Tapi saya mau coba keluar dari pakem itu. Ini dunia sesungguhnya yang saya alami, yang saya lihat sebagai anak ke-53,” ucap lelaki asal Klaten, Jawa Tengah, ini.


Adapun film ini dibuat pada 2013 setelah Tonny mendengar kabar ada seorang lelaki beristri 12 orang. Menurut dia, cerita ini menarik. Pergilah ia menemui MD Raya. Rencana Tonny untuk memfilmkan kehidupan MD Raya dari kacamata Martha, salah satu menantu MD Raya, disambut dengan tangan terbuka.


Tak punya naskah

Tonny menggarap One Big Sumba Family tanpa naskah yang ajek. Film dijahit berdasarkan cerita dan momen yang terekam di kamera. Ia juga jarang sekali memberi arahan ke subyek film. Ia khawatir subyek bakal kehilangan spontanitas. Ini juga diterapkan di film-filmnya yang lain.


Sedikit banyak ia juga berprinsip untuk merekam saja dulu ide cerita atau momennya di lapangan. Perkara nyambung atau tidak, itu urusan nanti. Pada akhirnya, apa yang ia rekam menemukan benang merahnya masing-masing.


Ada sikap berserah diri dalam mengerjakan karya. Tonny membiarkan semuanya mengalir mengikuti takdir. Sebagai pembuat film, tugasnya mengamati dan mengolah semua momen dengan penuh kesadaran.


Sikap ini didapat saat mengerjakan film Gerabah Plastik (2002). Tonny ingin filmnya provokatif. Ia ingin tokoh protagonis di filmnya marah karena invasi produk berbahan plastik. Namun, tokohnya tak kunjung marah walau sudah dipancing berbagai pertanyaan. Kata tokohnya, “Ya, sudah. Biarkan saja.”


Tonny belajar banyak dari pengalaman itu. Ia sadar tidak bisa ngotot akan hal-hal yang tak bisa ia kendalikan. Santai saja, mengalir saja.


Walau demikian, kepasrahan ini bertanggung jawab karena dibarengi dengan intuisi dan disiplin. Intuisinya sebagai pembuat film tajam karena diasah selama tiga dekade. Perjalanan menempa intuisi dimulainya sejak kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sebelas Maret, Surakarta.


Salah jurusan

Tonny mengaku tersesat kuliah di jurusan itu. Ia hanya masuk ke sana karena saat SMA mendengar gosip bahwa kaum hawa di fisipol cantik-cantik.


Saat jadi mahasiswa pada 1989, Tonny sebetulnya jarang kuliah. Ia lebih senang nongkrong di taman budaya bersama para seniman dan budayawan. Ia juga aktif di lembaga pers mahasiswa. Tonny pun rajin menulis soal kajian televisi untuk koran dan tabloid lokal serta nasional. Ia juga suka jalan-jalan tanpa rencana ke kota lain sembari mengumpulkan honor menulis dari kantor-kantor berita.


Tonny memanfaatkan waktu tujuh tahun di kampus untuk menyemai pengalaman yang tak mungkin didapat di dunia kuliah. Ia bekerja, berteman dengan banyak orang, dan pergi melihat dunia. Ia membuat jaringan.


Jaringan pula yang mengantar Tonny bertemu dengan orang-orang perfilman, salah satunya Garin Nugroho. Pertemuan Tonny dengan film bermula pada 1993 saat Garin Nugroho butuh periset untuk filmnya Bulan Tertusuk Ilalang (1995). Tonny menduga Garin mengenal Tonny setelah membaca tulisan-tulisannya di koran. Selesai bekerja sama, nama Tonny direkomendasikan orang yang hendak bikin film di Surakarta atau Jawa Tengah.


Pengajar di Jogja Film Academy ini lantas aktif membuat film fiksi hingga iklan pada 1993-2000. Ia lantas merasa cukup berkutat di film fiksi selama tujuh tahun. Saatnya mencari tantangan baru. Pilihannya jatuh ke film dokumenter yang menurutnya punya energi berbeda dengan film fiksi.


“Di fiksi saya akan ketemu dengan orang-orang yang sama. Di dokumenter orangnya beda. Saya akan bertemu dengan orang di pedalaman Papua dengan trauma dan konfliknya sendiri. Orang Aceh dengan konflik dan trauma alam, misalnya tsunami. Lalu ada lagi di Ambon. Menurut saya itu menarik,” ucapnya.


Film dokumenter membuat pendiri Rumah Dokumenter ini bahagia. Ia bisa bertemu banyak orang, banyak kisah, serta bisa keliling Indonesia dan luar negeri. Ia juga menjadi pembuat film yang bebas, tak terikat institusi. Ia bebas memilih kapan saatnya membuat film idealis dan kapan mengerjakan film komersial.


Semua ide film sudah ia tabung. Pekerjaan pun sudah dicicil. Tinggal menunggu momen untuk merilis karyanya satu-satu. Selain film dokumenter, Tonny juga berencana membukukan tulisan-tulisannya di media massa dulu.


Ia juga berencana menjadikan cerita Bulu Mata menjadi novel. Bulu Mata adalah film garapan Tonny yang berkisah soal transpuan. Film ini menang Piala Citra di Festival Film Indonesia (FFI) 2017 sebagai Film Dokumenter Panjang Terbaik.


Selain Bulu Mata, Tonny pernah menggarap setidaknya lima film bertema transpuan antara lain Renita, Renita dan Mangga Golek Matang di Pohon. Ia sampai dijuluki “sutradara spesialis waria” oleh beberapa orang.


Tonny tak masalah disebut begitu. Menurutnya, film bertema transpuan dibuat terus karena persoalannya tidak kunjung selesai. Stigma negatif masih melekat pada transpuan. Mereka juga masih sulit mengakses hak dasar sebagai WNI. Hal ini kadang luput dari perhatian publik ataupun pemerintah.


“Saya selalu ingin film itu membuka ruang dialog. Walau (filmnya) cuma ditonton di forum terbatas, bagi saya itu tidak masalah. Yang pasti, film itu mampu memantik orang bahwa, ‘Oh, masih ada persoalan yang belum selesai, ya!’” ujar Tonny. (SEKAR GANDHAWANGI/KOMPAS)

Sumber : KOMPAS



Tags

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)