Paul Goran, tak pernah menyangka bahwa suatu hari ia akan diajak untuk memegang kamera dan akhirnya, profesi itu ia cintai hingga saat ini. Saat itu, tahun 1998, kebetulan ayah Paul Goran adalah Tim Dokumentasi kegiatan gereja. Paul Goran tinggal di Larantuka, sebuah wilayah yang selalu identik dengan ragam aktivitas gereja. Dan yang paling popular: Samana Santa setiap tahun pada perayaan Paskah. Nampaknya, aktivitas rutin tahunan inilah yang membuat bung Paul, semakin terlatih dalam pola perekaman gambar (baca:dokumentasi), pun inilah yang membawa bung Paul pada ragam aktivitas yang berhubungan dengan ragam produksi produk audio-visual.
Saya berjumpa, bung Paul untuk kali kedua. Pertemuan kami pertama kali, terjadi pada tahun 2023, ketika saya diminta mendampingi kegiatan workshop film pemula untuk remaja dan siswa di Larantuka tahun 2023. Perjumpaan kala itu tidak begitu intens, namun bung Paul telah mengajak saya ke studionya yang kecil namun lengkap dengan ragam alat rekam beda usia yang menumpuk.
Saat itu ia menceritakan telah merekam ragam aktivitas kegiatan geraja lebih dari sepuluh tahun dan semuanya tersimpan rapi materialnya dalam bentuk kaset MiniDV. Cukup membuat terkesima, lantaran, bung Paul cukup sadar pada pentingnya dokumentasi kegiatan pada lingkunan yang paling dekat. Konon, kalua tidak kita rekam siapa yang mau melakukannya. Tamasya di studio kecilnya cukup menakjubkan diselingi dengan kisah kisah yang dituturkannya sangat detil dan lengkap.
Pernah, satu pertanyaan saya lontarkan. “Bung kenapa tidak melakukan investasi di bidang alat rekam gambar (baca: kamera) dan audio yang lebih proper?” Saya bertanya demikian, lantaran tim Paul Goran inilah yang “menguasai” wilayah Flores Timur NTT dan bahkan sampai ke ujung Barat Labuan Bajo. Bukankah daya jelajah geografisnya cukup jauh, dan tak banyak yan bisa mengelola kerja kerja dokumentasi. Sodoran pertanyaan itulah yang akhirnya saya sampaikan ke Bung Paul.
Tentu dalam benak saya ada deretan kalkulasi layaknya seorang pelaku bisnis yang siap mengkooptasi ruang ekonomi didalamnya. Apakah ini benar adanya, sehingga penting untuk melakukan investasi dan ekspansi kerja kerja kreatif audio visual.
Tanpa disangka, justru jawaban Bung Paul cukup mengejutkan. “Ngapain mas, melakukan investasi alat alat kamera yang mahal. Taka da gunanya. Tak akan berbanding lurus, investasi alat mahal dengan pemasukan yang kami dapatkan. Saya Tanya balik :Kenapa? Bukankah seperti rekan sejawat yang tersebar di Pulau Jawa terus berlomba dan gelisah setiap kali melihat promo ragam kamera keluaran baru?
Orang orang disini maunya membayar kerja kerja kita itu murah. Tak perlu alat yang cangggih dan teknologi yang baru. Yang penting bisa ditonton saja. Alat yang baru canggih sebagai sebuah gaya hidup kerja, bukanlah patron yang Bun Paul dan tim pilih. Mereka lebih memilih bagaimana bisa memproduksi sesuai dengan tekanan pasar dengan harga yang rendah.
Sehingga melihat karya-karya bung Paul dan tim nya, lebih pada bagaimana kamera adalah alat untuk merekam momen, membuat video klip. Dalam kerja mereka taka da soal gengsi kamera terbaru. Tak ada percakapan soal hal teknis yang canggih. Cukup kamera yang murah dan cukup representative untuk merekam. Apakah ini sebuah upaya pengendalian diri dalam tekanan?
Selalu menarik membaca daya hidup teman teman daerah yang terus berkarya tanpa harus menanggung beban model, trend teknologi rekam yang setiap detik terus berubah.*** (Tonny Trimarsanto)