Perginya Leonard, Sang Maestro Intimasi Sinematik

Asosiasi Dokumenteris Nusantara
0
Leonard Retel Helmrich

Oleh: Agung Bawantara

Seorang bocah keluar dari sebuah rumah di kawasan urban Jakarta membawa dua buah hanger (gantungan baju) di kedua tanggannya. Pada hanger di tangan kiri tersangkut dua kemeja : bercorak ungu di bagian dalam dan lengan panjang bermotif kotak-kotak cokelat muda di bagian luar. Begitu pun pada hanger di tangan kanan, di situ tersampir pula dua baju : busana perempuan bercorak biru di bagian dalam, dan kaos oblong putih di bagian luar. Bocah itu sendiri mengenakan kaos oblong merah kusam dengan sablonan simbol Batman di punggung - dekat tengkuk. Si Bocah kemudian berlari kencang melewati lorong-lorong sempit di kawasan urban tersebut. Kedua hanger ia usung sehingga baju-baju yang tersampir padanya berkibar-kibar seperti sayap super hero. Adegan tersebut ditampilkan selama lebih dari satu menit tanpa terasa membosankan dengan hanya sembilan shot saja! 


Itu adalah bagian dari film dokumenter karya Leonard Retel Helmrich, seorang pembuat film dokumenter terkenal asal Belanda, yang berjudul "Position Among The Stars" (2010). Film tersebut menggambarkan kerasnya kehidupan kaum urban di ibukota Republik Indonesia, Jakarta. 

Bagaimana adegan macam itu bisa terjadi? Tak lain karena Leonard merekamnya dengan teknik yang diciptakannya sendiri di mana kamera mengikuti gerakan subyek sejauh kameraman mampu mengikutinya.  Gaya visual  dengan menggabungkan penggunaan kamera yang bergerak secara intensif dengan sudut pengambilan gambar yang tidak konvensional ini menjadi ciri khas Leonardo bahkan menjadi gaya baru dalam produksi film dokumenter di dunia. 


Kerena kepiawaiannya itu, Leonard Retel Helmrich yang lahir pada tanggal 2 November 1959 di Belanda itu, oleh banyak kalangan film ia dianggap layak mendapat julukan "The Maestro of Cinematic Intimacy" (Maestro Intimasi Sinematik). Julukan ini mencerminkan gaya sinematografinya yang intim dan dekat dengan subjek yang ia dokumentasikan dalam film-filmnya.  


"Position Among the Stars" adalah salah satu dari trilogi dokumenter Leonardo yang sangat terkenal yang disebut "The Living Room of the Nation" (2001-2015). Trilogi ini terdiri dari tiga film, yaitu "The Eye of the Day" (2001), dan "Shape of the Moon" (2004), dan dan "Position Among the Stars" (2010). Dalam trilogi itu, Leonard mengambil sudut pandang yang dekat dan intim terhadap kehidupan sehari-hari keluarga di Indonesia, khususnya di Jakarta. Ia mengeksplorasi tema-tema seperti perubahan sosial, kemiskinan, dan konflik antara generasi muda dan tua.


Karya Leonard Retel Helmrich


Gaya sinematografi Leonard dalam trilogi ini sangat inovatif. Ia menggunakan kamera yang dipegangnya sendiri dan dikendalikan dengan tangan, sehingga memungkinkannya untuk mendapatkan gambar-gambar yang mengesankan secara visual. Leonard juga sering menggunakan teknik pengambilan gambar yang dinamis, seperti "single shot cinema" di mana ia mengambil adegan panjang yang tak terputus untuk menghadirkan pengalaman yang mendalam bagi penonton.


Karya-karya Leonard Retel Helmrich telah mendapatkan pengakuan internasional. Film-filmnya sering diputar di festival-festival film bergengsi di seluruh dunia, dan ia telah memenangkan berbagai penghargaan termasuk penghargaan Golden Calf, penghargaan tertinggi dalam perfilman Belanda. Karyanya juga mempengaruhi banyak pembuat film dokumenter lainnya, dan gaya sinematografinya dianggap sebagai kontribusi penting dalam perkembangan sinema dokumenter modern.


Adegan dalam Position Among The Stars. Foto: Filmaker Magazine


Leonard adalah seorang pembuat film yang berdedikasi dan berbakat, yang dengan karya-karyanya telah berhasil memperkaya dunia sinema dokumenter. Gaya sinematografinya yang unik dan pengamatannya yang mendalam terhadap kehidupan manusia membuat film-filmnya menjadi pengalaman sinematik yang kuat dan memikat. 


Di Indonesia Leonard punya cukup banyak pengikut. Satu di antaranya adalah dokumenteris asal Bali, Dwitra J. Ariana. Salah satu karya terbaik Dwitra, "Petani Terakhir", menggunakan pendekatan single shot cinema yang ia pelajari langsung dari Leonard saat datang dan memberi pelatihan di Indoensia. Film ini berkisah tentang kegalauan para petani di Denpasar karena tak ada lagi generasi penerusnya yang berminat menekuni profesi sebagai petani, serta terdesaknya lahan pertanian oleh pembangunan perumahan yang menyertai urbanisasi di daerah tersebut. "Petani Terakhir" menjadi nominasi film dokumenter panjang terbaik Festival Film Indonesia 2016 dan dinobatkan sebagai Film Dokumenter Terbaik Festival Film Dokumenter (FFD) Yogyakarta 2017. 


Dwitra J. Ariana

Karya lain Dwitra yang menggunakan gaya pendekatan serupa adalah "Sang Pembakar" yang disutradarainya bersama Dokumenteris Ucu Agustin, yang berkisah tentang pembakaran liar dan ladang berpindah di Sumatera.     


Siang ini,  Minggu, 16 Juli 2023, dari dokumenteris Indonesia, Daniel Rudi Haryanto, saya mendengar kabar bahwa Sang Maestro telah berpulang. Ia pergi menghadap Sang Penciptanya meningglakan warisan gaya sinematografi yang kini mulai banyak dianut oleh dokumenteris di berbagai belahan dunia. Selamat jalan Leonard. Selamat jalan Maestro. Selamat membangun keintiman dengan Sang Maha Sutradara.[]

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)